Autisme dalam Budaya Berbeda

Tak Kenal, Maka Tak Sayang: Autism dalam Masyarakat Asia

Tidak hanya di Indonesia, kenali juga penanganan ASD di negara maju seperti Jepang dan Korea yang lebih kondusif dan positif dalam menangani kasus Autisme.

Tak Kenal maka Tak Sayang W_800 - Sunday Talents Project

Sebagai salah satu penduduk dari negara yang memiliki ribuan pulau dengan ratusan kebudayaan yang berbeda, kita pasti akan menemui perspektif yang berbeda-beda ketika melihat sebuah fenomena. Ketika kita memahami sebuah fenomena dengan sikap positif, bisa saja kolega kerja di sebelah meja kerja kita memandang hal tersebut sebagai hal yang negatif. 

Di dalam fenomena kesehatan mental, selain pembahasan tentang faktor stress kehidupan sehari-hari dan trauma, isu seperti kondisi perilaku yang unik dan neurologis juga mulai dibicarakan di mana-mana. Menyebutkan istilah “autis” sebenarnya bukan hal yang asing, namun memang di Indonesia pemahaman yang kita pernah dapatkan tentang itu memiliki stigma yang tidak ramah. 

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain yang memiliki kebudayaan berbeda. Seperti di India, sebagai negara dengan keragaman budaya yang sangat besar, pandangan tentang autisme sangat bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dan juga antar kelompok etnis. Beberapa kelompok masyarakat di India masih memiliki pandangan tradisional tentang autisme dengan mengaitkannya dengan unsur spiritual sebagai bentuk teguran atau kegagalan pencapaian prinsip agama yang mereka anut, sementara di kota-kota besar autisme sudah dianggap sebagai cara kerja otak yang unik sehingga memerlukan pendampingan dan pengetahuan khusus untuk menanganinya.

Jepang dan Korea Selatan

Di negara maju seperti Jepang dan Korea pun memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang ASD.

Di Jepang, mereka menganggap bahwa kondisi ASD adalah kondisi perilaku yang perlu diperbaiki dengan cara disiplin otoriter karena dianggap “nyentrik”. Namun menariknya, karena Jepang menjunjung tinggi sikap sopan santun dan etika bersosialisasi, ada studi kasus yang menyampaikan bahwa individu ASD bisa merasa lebih nyaman untuk tinggal di negara tersebut. Dalam observasi yang dilakukan oleh Gray Atherton, kecenderungan individu ASD untuk tidak banyak bersosialisasi atau membatasi komunikasi itu sejalan dengan gaya komunikasi verbal kebudayaan Jepang yang penuh dengan keheningan dan jeda bicara. Keheningan dianggap sebagai kekuatan dan perhitungan dalam merespon memperlihatkan kewibawaan. Lalu, karakteristik individu untuk tidak melakukan kontak mata juga dianggap sebagai etika berkomunikasi yang baik bagi kebudayaan Jepang, mereka menganggap bahwa kontak mata langsung merupakan sikap marah atau tidak ramah. 

Sementara di Korea mereka menganggap ASD sebagai kelemahan intelektualitas yang membuat keluarga penyandang menderita. Individu ASD disebut sebagai “ja pye” dalam bahasa korea, yang salah satu arti harafiahnya adalah seseorang yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Di kebudayaan Korea, mereka percaya bahwa kondisi ASD adalah hasil dari orang tua atau kondisi lingkungannya. Biasanya sosok ibulah yang akan dijadikan kambing hitam karena dianggap gagal memberikan nutrisi atau pola asuh yang baik untuk anaknya. Mereka juga lebih memilih untuk menganggap ASD sebagai kelainan tidak permanen yang berarti bisa disembuhkan ketimbang ASD sebagai lifelong disability. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah anak-anak ASD yang terkualifikasi untuk bersekolah bersamaan di sekolah biasa, memberi poin bertambahnya perhatian publik terhadap keadaan ASD. Adanya riset terhadap individu ASD pun semakin berkembang dan banyaknya sosialisasi edukasi perihal ASD pun semakin digencarkan. Bahkan, untuk meringankan beban keluarga yang memiliki anak ASD, pemerintah Korea menawarkan program bantuan untuk keluarga dengan anak-anak ASD yang berusia di bawah 18 tahun.

Negara Dengan Kelompok Masyarakat Pribumi

Menariknya dalam artikel yang ditulis oleh Gemma Winchester untuk Autism Parenting Magazine, ia menceritakan bagaimana pengalaman bersama adiknya yang mengalami kondisi neurologis dapat diterima dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang di negara-negara berkembang. Winchester mengatakan bahwa pernyataan “it takes village to raise a child” sangat terasa ketika ia dan keluarga berada di Fiji dan Indonesia. Di dalam kelompok masyarakat di mana ia pernah tinggal dapat menerima dan memberi perhatian kasih sayang untuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini membuktikan sebuah pendapat tentang masyarakat pribumi, atau golongan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai luhur, menganggap ASD sebagai karakteristik khusus yang memiliki nilai dalam konteks budaya. Beberapa kelompok masyarakat pribumi melihat individu dengan autisme memiliki pengetahuan spiritual atau bakat khusus yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan diberkahi oleh kepercayaan yang mereka anut.

Apapun pandangan kelompok masyarakat tempat kita tinggal mengenai ASD, kita perlu ingat bahwa pepatah “tak kenal, maka tak sayang” sangat berlaku dalam penerimaan individu ASD. Butuh sikap toleransi yang tinggi untuk bisa menyeimbangkan diri dalam lingkungan multikultural seperti di Indonesia. Memiliki afirmasi positif dan sikap welas asih terhadap sesama sangatlah dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi individu-individu ASD mencapai potensinya. Kita perlu lebih mengenal lagi tentang keanekaragaman neurologi manusia untuk menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan ramah disabilitas.

https://www.autismparentingmagazine.com/autism-perceived-different-cultures/

Coming Out of the Shadows: Understanding Autism in Korean Culture, Yoojin Kim Brigham Young University.

https://www.psychologytoday.com/us/blog/culture-conscious/202307/is-life-easier-for-autistic-people-in-japan#:~:text=Japanese%20society%20is%20a%20tight,impolite%20by%20strict%20Japanese%20standards.

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

image (36) (1)

Raissa

Ini adalah Raissa, hati dan jiwa dari Sunday Talent Project. Raissa merepresentasikan jiwa kreatif, ketangguhan dan optimisme selain bahwa dia menjadi seorang seniman.

Trending Now

Hot Topics

Related Articles

Autisme dalam Budaya Berbeda

Liburan Bersama Keluarga, Persiapan Bersama Autism

Setelah penatnya kegiatan sehari-hari, pergi liburan merupakan salah satu pilihan kegiatan untuk...

Autisme dalam Budaya Berbeda

Pertemanan Tulus dengan Autism

Memiliki teman adalah hal yang penting untuk setiap orang. Teman bisa menjadi...